Buku ini mengangkat persoalan mendasar mengenai tanah dalam konteks masyarakat agraris Indonesia, khususnya komunitas adat dan petani di Kalimantan. Tanah tidak sekadar ruang fisik, melainkan ruang hidup, ruang makna, dan ruang harapan yang menyatu erat dengan identitas kolektif masyarakat lokal. Namun, dalam logika hukum modern dan mekanisme pasar global, tanah direduksi menjadi sekadar aset dan komoditas, memicu konflik antara hak hidup rakyat dan kepentingan korporasi.
Melalui kajian kritis dan reflektif, buku ini menelusuri ketimpangan dalam tata kelola industri sawit—dari mitos pengembalian tanah, praktik akuisisi tanpa akuntabilitas sosial, kemitraan plasma yang timpang, hingga simbolisme tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang sering kali abai pada akar persoalan struktural. Buku ini menyoroti absennya perlindungan substantif dalam sistem hukum, dan menyerukan perlunya hukum yang berpihak pada keadilan sosial, bukan hanya pada kekuasaan formal.
Lebih dari sekadar kritik, buku ini menawarkan jalan keluar. Ia mengusulkan reformasi etik, kebijakan, dan kelembagaan yang berfokus pada kemitraan sejati dan tata kelola demokratis. Buku ini menegaskan bahwa industri sawit yang etis dan berkelanjutan adalah mungkin, bila tanah kembali diposisikan sebagai ruang martabat, bukan sekadar angka dalam laporan investasi.
Ditulis dengan semangat pembelaan terhadap hak-hak rakyat dan kelestarian alam, buku ini merupakan kontribusi penting dalam perjuangan keadilan agraria, kedaulatan rakyat, dan keberlanjutan kehidupan. Sebuah pengingat bahwa tanah bukan warisan semata, melainkan titipan masa depan yang harus dijaga dengan akal sehat dan hati nurani.
Ulasan
Belum ada ulasan.